Hujan
Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan
presipitasi non-cair seperti salju, batu es dan slit. Hujan
memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas
titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi, hujan adalah
proses kondensasi uap air di atmosfer
menjadi butir air yang cukup
berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi
bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu
pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara. Virga adalah presipitasi
yang jatuh ke Bumi namun menguap sebelum mencapai daratan; inilah satu cara
penjenuhan udara. Presipitasi terbentuk melalui tabrakan antara butir air atau
kristal es dengan awan. Butir hujan
memiliki ukuran yang beragam mulai dari pepat, mirip panekuk (butir besar),
hingga bola kecil (butir kecil).
Hujan buatan adalah usaha manusia untuk
meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses
fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang dapat diubah meliputi
proses tumbukan dan penggabungan (collision dan coalescense), proses
pembentukan es (ice nucleation). Jadi jelas bahwa hujan buatan
sebenarnya tidak menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Untuk menerapkan
usaha hujan buatan diperlukan tersedianya awan yang mempunyai
kandungan air yang cukup, sehingga dapat terjadi hujan yang sampai ke
tanah.
Kelembapan yang bergerak di sepanjang zona perbedaan suhu
dan kelembapan tiga dimensi yang disebut front cuaca adalah metode utama dalam pembuatan
hujan. Jika pada saat itu ada kelembapan dan gerakan ke atas yang cukup, hujan
akan jatuh dari awan konvektif (awan dengan gerakan kuat ke atas) seperti kumulonimbus (badai petir)
yang dapat terkumpul menjadi ikatan hujan sempit. Di kawasan pegunungan, hujan
deras bisa terjadi jika aliran atas lembah meningkat di
sisi atas angin permukaan pada ketinggian yang memaksa udara
lembap mengembun dan jatuh sebagai hujan di sepanjang sisi pegunungan. Di sisi
bawah angin pegunungan, iklim gurun dapat terjadi karena udara kering yang
diakibatkan aliran bawah lembah yang mengakibatkan pemanasan dan pengeringan massa udara. Pergerakan truf monsun, atau zona konvergensi intertropis, membawa musim hujan ke iklim sabana. Hujan adalah
sumber utama air tawar di sebagian besar daerah di dunia, menyediakan kondisi
cocok untuk keragaman ekosistem, juga air
untuk pembangkit listrik hidroelektrik dan irigasi ladang. Curah
hujan dihitung menggunakan pengukur hujan. Jumlah curah hujan dihitung secara
aktif oleh radar
cuaca dan secara pasif oleh satelit cuaca.
Dampak pulau
panas perkotaan mendorong peningkatan curah hujan dalam jumlah dan
intensitasnya di bawah angin perkotaan. Pemanasan
global juga mengakibatkan perubahan pola hujan di seluruh dunia,
termasuk suasana hujan di timur Amerika Utara dan suasana
kering di wilayah tropis. Hujan adalah komponen utama dalam siklus air dan penyedia
utama air tawar di planet ini. Curah
hujan rata-rata tahunan global adalah 990 millimetre (39 in). Sistem
pengelompokan iklim seperti sistem
pengelompokan iklim Köppen menggunakan
curah hujan rata-rata tahunan untuk membantu membedakan kawasan-kawasan iklim.
Antarktika adalah benua terkering di Bumi. Di daerah lain, hujan juga pernah
turun dengan kandungan metana, besi, neon, dan asam sulfur.
Pembentukan
Udara lembap
Udara
berisikan uap air dan sejumlah air dalam massa udara kering, disebut Rasio
Pencampuran, diukur dalam satuan gram air per kilogram udara kering (g/kg).[1][2] Jumlah kelembapan di udara juga
disebut sebagai kelembapan relatif; yaitu persentase total udara uap
air yang dapat bertahan pada suhu udara tertentu.[3] Jumlah uap air yang dapat ditahan
udara sebelum melembap (100% kelembapan relatif) dan membentuk awan (sekumpulan air kecil dan tampak dan partikel es yang
tertahan di atas permukaan Bumi)[4]
bergantung pada suhunya. Udara yang lebih panas memiliki lebih banyak uap air
daripada udara dingin sebelum melembap. Karena itu, satu-satunya cara untuk
melembapkan udara adalah dengan mendinginkannya. Titik embun adalah suhu yang dicapai dalam pendinginan udara
untuk melembapkan udara tersebut.[5]
Ada
empat mekanisme utama dalam pendinginan udara hingga titik embunnya:
pendinginan adiabatik, pendinginan konduktif, pendinginan radiasional, dan
pendinginan evaporatif. Pendinginan adiabatik terjadi ketika udara naik dan
menyebar.[6] Udara dapat naik karena konveksi, gerakan atmosfer berskala besar,
atau perintang fisik seperti pegunungan (pengangkatan orografis). Pendinginan konduktif terjadi
ketika udara bertemu permukaan yang lebih dingin,[7]
biasanya tertiup dari satu permukaan ke permukaan lain, misalnya dari permukaan
air ke daratan yang lebih dingin. Pendinginan radiasional terjadi karena emisi radiasi inframerah yang muncul akibat udara ataupun
permukaan di bawahnya.[8]
Pendinginan evaporatif terjdai ketika kelembapan masuk dalam udara melalui
penguapan, sehingga memaksa suhu udara mendingin hingga suhu bulb basah, atau mencapai titik kelembapan.[9]
Cara
utama uap air dapat bergabung dengan udara adalah ketika angin berkonvergensi
ke wilayah gerakan ke atas,[10] presipitasi atau virga yang jatuh
dari atas,[11] pemanasan siang hari yang menguapkan
air dari permukaan laut, badan air atau tanah basah,[12] transpirasi tumbuhan,[13] udara dingin atau kering yang
bergerak di perairan panascool or dry air moving over warmer water,[14] dan udara yang naik di pegunungan.[15] Uap air biasanya mulai mengembun di nuklei kondensasi seperti debu, es, dan garam untuk
membentuk awan. Bagian-bagian tinggi front cuaca (tiga dimensi)[16] memaksa wilayah luas melakukan
gerakan ke atas di atmosfer Bumi sehingga membentuk dek awan seperti altostratus atau sirostratus.[17] Stratus adalah dek awan stabil yang terbentuk ketika udara dingin
dan stabil terperangkap di bawah massa udara panas. Awan ini juga dapat
terbentuk akibat pengangkatan kabut adveksi ketika kondisi berangin.[18]
Koalesensi
Bentuk butir hujan
menurut ukurannya
Koalesensi terjadi ketika butir air bergabung
membentuk butir air yang lebih besar, atau ketika butir air membeku menjadi
kristal es yang dikenal sebagai proses Bergeron. Resistensi udara mengakibatkan
butiran air mengambang di awan. Ketika turbulensi udara terjadi, butiran air
bertabrakan dan menghasilkan butiran yang lebih besar. Butiran air besar ini
turun dan koalesensi terus berlanjut, sehingga butiran menjadi cukup berat
untuk melawan resistensi udara dan jatuh sebagai hujan. Koalesensi umumnya
sering terjadi di awan atas titik beku dan dikenal sebagai proses hujan hangat.[19] Di awan bawah titik beku, kristal es
mulai jatuh ketika memiliki massa yang cukup. Umumnya, kristal membutuhkan
massa yang lebih besar daripada koalesensi yang terjadi antara kristal dan
butiran air sekitarnya. Proses ini bergantung kepada suhu, karena butiran air
superdingin hanya ada di awan bawah titik beku. Selain itu, karena perbedaan
suhu yang besar antara awan dan permukaan, kristal-kristal es ini bisa mencair
ketika jatuh dan menjadi hujan.[20]
Butiran
hujan memiliki beragam ukuran mulai dari diameter rata-rata 01 millimetre
(0.039 in) hingga 9 millimetre (0.35 in), di atas itu butiran
akan terpisah-pisah. Butiran kecil disebut butiran awan dan berbentuk bola.
Butiran hujan besar semakin pepat di bawah seperti roti hamburger, butiran terbesar berbentuk mirip parasut.[21]
Berbeda dengan kepercayaan masyarakat, bentuk butir hujan yang asli justru
tidak mirip air mata.[22] Butiran hujan terbesar di Bumi
tercatat di Brasil dan Kepulauan Marshall pada tahun 2004—beberapa di antaranya sebesar
10 millimetre (0.39 in). Ukuran besar ini disebabkan oleh pengembunan
partikel asap besar atau tabrakan antara
sekelompok kecil butiran dengan air tawar yang banyak.[23]
Intensitas
dan durasi hujan biasanya berkaitan terbalik yang berarti badai intensitas
tinggi memiliki durasi pendek dan badai intensitas rendah memiliki durasi
panjang.[24][25] Butir hujan pada hujan es cair
cenderung lebih besar daripada butiran hujan lain.[26] Butir hujan jatuh pada kecepatan terminalnya, lebih besar untuk butiran besar
karena massanya yang lebih besar terhadap rasio tarikan. Di permukaan laut
tanpa angin, gerimis 05 millimetre (0.20 in)
jatuh dengan kecepatan 2 metre per detik (4.5 mph), sementara butiran
besar 5 millimetre (0.20 in) jatuh pada kecepatan 9 metre per
detik (20 mph).[27] Suara butir hujan menabrak air disebabkan oleh
gelembung air berosilasi di bawah air.[28][29] Kode METAR untuk hujan adalah RA, sementara kode untuk hujan deras
adalah SHRA.[30]
Hujan asam
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan secara alami
bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2)
di udara yang larut
dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis
asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang
dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang.
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang
merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang
bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat ini
berdifusi ke atmosfer dan bereaksi
dengan air untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah
larut sehingga jatuh bersama air hujan. Air hujan yang asam tersebut akan
meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya
bagi kehidupan ikan dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang
gencar dilaksanakan.
Sumber
Secara
alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari proses biologis di tanah,
rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas
manusia seperti industri, pembangkit tenaga
listrik, kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum berubah menjadi
asam dan terdeposit ke tanah.
Hujan
asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik Rakyat Tiongkok, Eropa Barat, Rusia dan daerah-daerah di arahan anginnya. Hujan asam dari
pembangkit tenaga listrik di Amerika Serikat bagian Barat telah merusak
hutan-hutan di New
York dan New England. Pembangkit tenaga listrik ini
umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.
Pembentukan hujan asam
Bukti
terjadinya peningkatan hujan asam diperoleh dari analisis es kutub. Terlihat
turunnya kadar pH sejak dimulainya Revolusi Industri dari 6 menjadi 4,5 atau 4. Informasi
lain diperoleh dari organisme yang dikenal sebagai diatom yang menghuni
kolam-kolam. Setelah bertahun-tahun, organisme-organisme yang mati akan
mengendap dalam lapisan-lapisan sedimen di dasar kolam. Pertumbuhan diatom akan
meningkat pada pH tertentu, sehingga jumlah diatom yang ditemukan di dasar
kolam akan memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita melihat ke
masing-masing lapisan tersebut.
Sejak
dimulainya Revolusi Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida
ke atmosfer turut meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil,
terutama batu
bara, merupakan
sumber utama meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri
kadang-kadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini, ditambah oleh transportasi, merupakan
penyumbang-penyumbang utama hujan asam.
Masalah
hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan industri tetapi telah berkembang
menjadi lebih luas. Penggunaan cerobong asap yang tinggi untuk mengurangi polusi lokal berkontribusi dalam penyebaran hujan asam, karena
emisi gas yang dikeluarkannya akan masuk ke sirkulasi udara regional yang
memiliki jangkauan lebih luas. Sering sekali, hujan asam terjadi di daerah yang
jauh dari lokasi sumbernya, di mana daerah pegunungan cenderung memperoleh lebih banyak karena tingginya
curah hujan di sini.
Terdapat
hubungan yang erat antara rendahnya pH dengan berkurangnya populasi ikan di danau-danau. pH di bawah 4,5 tidak memungkinkan bagi ikan
untuk hidup, sementara pH 6 atau lebih tinggi akan membantu pertumbuhan
populasi ikan. Asam di dalam air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan
trout untuk keluar dari telurnya. Asam
juga mengikat logam beracun seperi alumunium di danau. Alumunium akan menyebabkan
beberapa ikan mengeluarkan lendir berlebihan di sekitar insangnya sehingga ikan sulit bernapas. Pertumbuhan Phytoplankton yang menjadi sumber makanan ikan juga dihambat oleh
tingginya kadar pH.
Tanaman
dipengaruhi oleh hujan asam dalam berbagai macam cara. Lapisan lilin pada daun rusak sehingga nutrisi menghilang sehingga tanaman tidak
tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan serangga. Pertumbuhan akar menjadi
lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa diambil, dan mineral-mineral
penting menjadi hilang.
Ion-ion
beracun yang terlepas akibat hujan asam menjadi ancaman yang besar bagi
manusia. Tembaga di air berdampak pada timbulnya wabah diare pada anak dan air
tercemar alumunium dapat menyebabkan penyakit Alzheimer.
Sejarah
Hujan
asam dilaporkan pertama kali di Manchester, Inggris, yang menjadi kota penting dalam Revolusi Industri. Pada tahun 1852, Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam
dengan polusi udara. Istilah hujan asam tersebut mulai digunakannya pada tahun
1872. Ia mengamati bahwa hujan asam dapat mengarah pada kehancuran alam.
Walaupun
hujan asam ditemukan pada tahun 1852, baru pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak melakukan penelitian
mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat
meningkat pada tahun 1990-an setelah di New York Times memuat laporan dari Hubbard Brook
Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan lingkungan
yang diakibatkan oleh hujan asam.
Metode Pencegahan
Di Amerika Serikat, banyak pembangkit tenaga listrik
tenaga batu bara menggunakan Flue gas desulfurization (FGD) untuk
menghilangkan gas yang mengandung belerang dari cerobong mereka. Sebagai contoh
FGD adalah wet scrubber yang umum digunakan di Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya. Wet scrubber pada dasarnya adalah tower yang
dilengkapi dengan kipas yang mengambil gas asap dari cerobong ke tower
tersebut. Kapur atau batu kapur dalam bentuk bubur juga diinjeksikan ke dalam
tower sehingga bercampur dengan gas cerobong serta bereaksi dengan sulfur
dioksida yang ada, Kalsium karbonat dalam batu kapur menghasilkan kalsium
sulfat ber pH netral yang secara fisik dapat dikeluarkan dari scrubber.
Oleh karena itu, scrubber mengubah polusi menjadi sulfat industri.
Di
beberapa area, sulfat tersebut dijual ke pabrik kimia sebagai gipsum bila kadar kalsium sulfatnya tinggi. Di tempat lain, sulfat
tersebut ditempatkan di land-fill.
Berikut beberapa dampak dari hujan
asam terhadap lingkungan dan makhluk hidup:
1. Hujan asam dengan kadar keasaman tinggi dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia. Kabut yang mengandung asam sulfat bersama-sama dengan udara terhisap dan masuk ke dalam saluran pernapasan manusia dapat merusak paru-paru bahkan dapat menyebabkan luka bakar pada kulit.
1. Hujan asam dengan kadar keasaman tinggi dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia. Kabut yang mengandung asam sulfat bersama-sama dengan udara terhisap dan masuk ke dalam saluran pernapasan manusia dapat merusak paru-paru bahkan dapat menyebabkan luka bakar pada kulit.
2. Menyebabkan korosi dan merusak bangunan. Hujan asam dapat mempercepat proses korosi. Proses korosi (perkaratan) dapat terjadi pada beberapa material dari logam. Korosi adalah peristiwa perusakan logam akibat terjadinya reaksi kimia antara logam dengan lingkungan yang menghasilkan produk yang tidak diinginkan. Lingkungan tersebut dapat berupa asam, basa, oksigen dalam udara, oksigen dalam air, atau zat kimia lainnya. Produk yang tidak diinginkan ini adalah karat. Keberadaan karat ini sangat merugikan dan pada kondisi tertentu dapat mengancam keselamatan jiwa. Logam yang mengalami korosi ini biasanya akan menjadi rapuh dan keropos. Dan hal ini tentu sangat berbahaya jika yang mengalami korosi adalah jembatan dari besi. Jembatan lama kelamaan akan rapuh dan keropos. Untuk mencegah timbulnya korosi ini kita dapat melakukan beberapa cara salah satunya yaitu dengan pengecatan.
Selain korosi pada logam hujan asam juga dapat merusak bangunan terutama bangunan yang terbuat dari batuan (lihat gambar 14b) . Hal ini disebabkan karena hujan asam akan melarutkan kalsium karbonat dalam batuan tersebut dan membuatnya batuan menjadi mudah lapuk.
3. Tumbuhan menjadi layu, kering dan mati. Hujan asam yang larut bersama nutrisi di dalam tanah akan menyapu kandungan nutrisi dalam tanah sebelum tumbuhan sempat mempergunakannya untuk tumbuh. Zat kimia beracun seperti aluminium juga akan terlepas dan bercampur dengan nutrisi. Apabila nutrisi ini diserap oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, kemudian tumbuhan akan terserang penyakit, kekeringan, dan mati.
4. Merusak ekosistem perairan. Hujan asam yang jatuh pada danau akan meningkatkan keasaman danau. Keasaman danau yang meningkat menyebabkan beberapa spesies biota air mati karena tidak mampu bertahan di lingkungan asam. Meskipun ada beberapa spesies yang dapat bertahan hidup tetapi karena rantai makanan terganggu maka spesies tersebut dapat mengalami kematian pula.
Cara mencegah hujan asam
Hujan asam sebagai salah satu permasalahan yang serius terhadap lingkungan perlu diatasi secara terpadu. Beberapa cara sudah dilakukan di negara-negara maju dengan membuat inovasi maupun formula peralatan industri yang mampu menetralisir polutan sebelum sampai ke udara dan bereaksi dengan oksigen di udara. Penggunaan Flue gas desulfurization (FGD) mampu menetralisir belerang sebelum sampai ke udara merupakan salah satu cara yang cukup populer dilakukan saat ini, di negera-negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara maju lainnya.
Upaya Pengendalian Deposisi Asam
Untuk mengendalikan deposisi asam ialah menggunakan bahan bakar yang mengandung sedikit zat pencemae, menghindari terbentuknya zat pencemar saar terjadinya pembakaran, menangkap zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.
a. Bahan Bakar Dengan kandungan Belerang Rendah
Kandungan belerang dalam bahan bakar bervariasi. Masalahnya ialah sampai saat ini Indonesia sangat tergantung dengan minyak bumi dan batubara, sedangkan minyak bumi merupakan sumber bahan bakar dengan kandungan belerang yang tinggi.
Penggunaan gas alam akan mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini dapat menambah emisi metan. Usaha lain yaitu dengan menggunakan bahan bakar non-belerang misalnya metanol, etanol dan hidrogen. Akan tetapi penggantian jenis bahan bakar ini haruslah dilakukan dengan hati-hati, jika tidak akan menimbulkan masalah yang lain. Misalnya pembakaran metanol menghasilkan dua sampai lima kali formaldehide daripada pembakaran bensin. Zat ini mempunyai sifat karsinogenik (pemicu kanker).
b. Mengurangi kandungan Belerang sebelum Pembakaran
Kadar belarang dalam bahan bakar dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi tertentu. Dalam proses produksi, misalnya batubara, batubara diasanya dicuci untukk membersihkan batubara dari pasir, tanah dan kotoran lain, serta mengurangi kadar belerang yang berupa pirit (belerang dalam bentuk besi sulfida( sampai 50-90% (Soemarwoto, 1992).
c. pengendalian Pencemaran Selama Pembakaran
Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah dikembangkan. Slah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Dengan teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%.
Caranya dengan menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran diturunkan dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk gipsum (kalsium sulfat dihidrat). Penurunan suhu mengakibatkan penurunan pembentukan Nox baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari nitrogen udara.
Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.
d. Pengendalian Setelah Pembakaran
Zat pencemar juga dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang sudah banyak dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD) (Akhadi, 2000. Prinsip teknologi ini ialah untuk mengikat SO2 di dalam gas limbah di cerobong asap dengan absorben, yang disebut scubbing (Sudrajad, 2006). Dengan cara ini 70-95% SO2 yang terbentuk dapat diikat. Kerugian dari cara ini ialah terbentuknya limbah. Akan tetapi limbah itu dapat pula diubah menjadi gipsum yang dapat digunakan dalam berbagai industri. Cara lain ialah dengan menggunakan amonia sebagai zat pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagi pupuk.
Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk papan gipsum (gypsum boards) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah (ceiling boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan (partition boards) dan pelapis dinding (wall boards).
Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang berkapasitas 2600 mega watt.
Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam. Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batu bara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis.
d. Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)
Hendaknya prinsip ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana produk itu harus dapat digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau limbah yang dihasilkan dapat dikurangi. Teknologi yang digunakan juga harus diperhatikan, teknologi yang berpotensi mengeluarkan emisi hendaknya diganti dengan teknologi yang lebih baik dan bersifat ramah lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup, kita sering kali berlomba membeli kendaraan pribadi, padahal transportasilah yang merupakan penyebab tertinggi pencemaran udara. Oleh karena itu kita harus memenuhi kadar baku mutu emisi, baik di industri maupun transportasi.
0 komentar:
Posting Komentar